Monday 11 December 2017

Ilya. I love you, always.



Saat ini aku duduk di beranda rumah-ditemani secangkir cokelat hangat sambil mencium bau khas tanah yang diperawani oleh hujan-sedang membaca buku yang kau berikan kepadaku. Saat itu kau sedang menggebu-gebu menceritakan kisahnya hingga kau memaksaku untuk tenggelam didalamnya, “Aku rasa kamu harus membaca buku ini deh, yang.” katamu sambil menyodorkan sebuah buku yang tak tahu sejak kapan kau menyukai hal semacam itu. Konspirasi Alam Semesta tertulis dengan jelas menghiasi covernya.

Entah berapa kali telponku bergetar, menandakan banyaknya notifikasi yang masuk. Namun, aku terlalu menikmati kisah yang ditorehkan sang penulis sehingga kabar darimu pun kuhiraukan untuk sejenak. Aku yang terlalu suka akan buku cerita, tak bisa menolak jika seseorang memberiku hal semacam ini. Maka tak ayal jika lemari buku yang berdiri kokoh di kamarku berisi tentang deretan judul cerita yang acapkali membuatku lupa akan dunia, padahal seharusnya buku yang penuh dengan rumuslah yang harus berdiri tegak di lemari itu.

Di suatu halaman aku tertegun. Tertulis kata Ilya disana. Mengingatkanku akan pesanmu tempo lalu. Ihh, dasar! batinku. Tak ada aba-aba, senyum mengembang menghiasi wajahku tanpa permisi. Aku baru menyadari bahwa kau tak lebih dari seorang lelaki yang berusaha untuk menggodaku tempo lalu. Sebelum membaca buku ini pun, aku terheran-heran karena pesanmu. ‘Ilya’. Hanya itu yang kau kirimkan kepadaku. Aku bertanya. Sejurus kemudian pesanmu masuk, ‘I love you, always :)'. Senyumku mengembang kembali saat mengingatnya, dan kali ini memperlihatkan gigiku yang dihiasi oleh kawat berwarna.

Sesederhana itu kau bisa membuatku bahagia. Aku tak tahu apakah aku yang terlalu gampang untuk digoda, atau kau yang terlalu ahli dalam hal semacam itu. Aku tak tahu. Pun tak lagi kupikirkan tentang itu, aku hanya ingin menikmati prosesnya. Aku suka untuk kau buat bahagia. Aku suka saat hatiku menghangat dan aku sangat suka saat jantungku berdebar walau kutahu kata-kata itu hanya kau contek dari sebuah buku yang sangat kau sukai belakangan ini.

Kemudian pikiranku langsung melayang mengingat kebersamaan kita kala itu, sebelum akhirnya kau dan aku terpisah antar pulau. Aku dan kau berada di dalam sebuah gerbong kereta api. Berbagi kisah, canda dan tawa bersama. Tak jarang juga perutmu menjadi sasaran empuk cubitan mautku hingga aku harus melihatmu menahan aduh akibat ulahku. Hahaha, aku bahagia.

Aku mengerti bahwa sebuah hubungan tak harus diperlihatkan kepada dunia. Aku tahu bahwa kau menyayangiku tanpa harus kau menggodaku dengan kata ‘ilya’ yang kau contek dari buku itu. Aku tahu bahwa kau akan menjagaku tanpa harus kau ingatkan aku makan karena terkadang aku tak sadar akan penyakitku. Aku tahu bahwa kau merindukanku... di kota kelahiranku.

Kini kita sudah terpisah jauh. Aku tak khawatir untuk meninggalkanmu di kota itu. Aku percaya padamu. Tunggulah aku di kota itu membawa sekantong rindu untuk bisa berada di dekapanmu. Ah, aku benci dengan suasana melankolis seperti ini. Ingin sekali aku berhenti berkisah tentang dirimu, karena aku benci saat aku tenggelam oleh dirimu. Terlebih, aku benci untuk merindukanmu.


Untuk kamu, aku mencintaimu.
Share:

Wednesday 15 November 2017

[Cerbung] Semua Serba Salah




Malam ini tak seperti biasanya, Rina malas untuk belajar ataupun sekedar mengulang materi yang telah diajarkan di kampusnya. Hal ini membuat Rina untuk beralih mengerjakan sesuatu yang lain, sesuatu yang sangat disukainya selain melihat drama korea.
Saat itu Rina sedang asyik dengan game puzzle di handphonenya, tak lama hpnya berbunyi menandakan ada telepon masuk. Dari Raka.
Seperti biasa, setiap malam mereka bertelepon. Berbagi kisah tentang apa yang sudah mereka jalani, tentang atasan yang ribet, tentang teman-teman Rina yang bawel, tentang pekerjaan Raka, tentang kuliah Rina, bahkan tentang keluarga mereka.

***

“Halo sayang... Lagi apa nih? Ngegame lagi ya?” Raka tahu betul apa yang disuka oleh wanitanya, bermain game salah satunya.
“Iya dong, biar gue ga bosen nungguin lo. Lo gitu sih, ribet. Mandi lebih lama dari gue, milih baju lebih ribet dari gue, makan harus ada sambel. Woi cabe mahal woi!”
“Hahaha, bisa diganti pake merica kok sayang.”
“Pedes merica itu gabagus tau!”
“Iya bawel. Uh, istriku bawel sekali.”
“Gila lu ya! Berani bayar mahar gue berapa lo? Untung lo jauh Ka, selamat perut lo.”
“Hahaha.”

Raka tertawa diujung sana, mengingat ketika mereka bersama. Saat dia gemas dibuat oleh tingkah manis Rina. Bahkan seringkali dia mengalah untuk menjadi bahan amarah Rina dan perutnya lah yang menjadi sasaran.

“Eh, Rin, gue boleh nanya serius sama lo nggak?”
Rina mengiyakan, “Boleh. Tentang apa? Tanya langsung aja.”
“Ng... Lo masih sayang sama Dimas gak sih Rin?”
“Kenapa lo nanya gitu?” Rina penasaran.
“Pas gue jemput lo kemaren, sewaktu kita makan, gue liat lo ada chat sama dia. Lo bilang kangen ke dia Rin.”
“Trus kalo gue bilang kangen sama dia, maksud lo gue masih sayang sama dia? Lo ga percaya ya sama gue? Maksud lo apa sih?” Suara Rina meninggi.
“Bukan Rin, gue gaada maksud buat ga percaya sama elo. Gue cuma takut lo jadi balik nyaman ke dia. Mau gimana pun, lo sama dia itu pernah ada rasa. Gue takut kehilangan lo Rin.”
“Gini aja deh. Dengar ya Ka, gue gamau masalah ini dibahas lagi. Gue gaada maksud buat deketin dia lagi dan gue udah ga sayang sama dia lagi. Lo juga tau kan gimana sikap dia ke gue? Dia cuma gue anggap teman, ga lebih.”
“Tapi lo bilang kangen ke dia Rin.”
“Cuma bilang kangen Ka, bukan berarti gue sayang dia. Ngerti?” Rina sedikit membentak.
“Iya, gue salah, gue minta maaf.”
“Yaudah deh ya, gue uda capek ribut mulu sama elo, kita gausah telponan deh.”

Tut tut tut........................

Rina mematikan telponnya, tak biasanya dia seperti ini. Raka panik dan langsung menelpon kembali kekasihnya itu.
Namun perjuangan Raka sia-sia, Rina tak juga mengangkat telpon dari Raka.


Bersambung...
Share:

Friday 10 November 2017

Kadar Cinta Yang Berlebihan


Semua orang pasti mengetahui apa itu cinta. Tapi hanya sedikit yang bisa mempertahankannya. Banyak cara untuk memeliharanya. Beda orang, beda cerita. Akan tetapi, jangan sampai mengagungkannya. Jika tak mau menyesal di kemudian masa.
Ini bukan hanya tentang cinta. Tetapi juga tentang rasa. Tingkat kenyamanan itu berbeda. Dan jangan dilupakan begitu saja. Posesif bukanlah hal yang biasa. Tapi ini luar biasa.
Jangan hanya karena kekasihmu jalan dengan teman sebaya, kau lupa akan emosi semata. Tak jarang ketika melakukan kesalahan kecil saja, kau sudah melakukan kontak fisik dengannya. Ingat, posesif bukanlah hal biasa.
Sering kali kita menganggap remeh tentang hadirnya suatu kenyataan. Ketika kita sadar akan kekerasan. Ketika sadar akan hadirnya ketidaknyamanan. Sekali lagi, semuanya jangan sampai dilupakan. Karena cinta ada untuk kebahagiaan.

***

Dua hari setelah peluncurannya, aku menonton film posesif di bioskop karena tertarik akan trailernya. Baru sekarang aku bisa menuliskannya karena kesibukan yang terlampau banyak dan tingkat kemalasan yang sedang tinggi-tingginya. Filmnya bagus sekali hingga tanganku gatal untuk menuliskan sedikit tentangnya. Berkisah tentang sepasang kekasih remaja yang sedang di mabuk asmara. Sama seperti kisah cinta kebanyakan, mereka bertemu saat disekolahan. Film ini diperankan oleh Putri Marino sebagai Lala dan Adipati Dolken sebagai Yudhis.
Saat itu, Lala seorang atlit lompat indah yang sedang naik daun jatuh cinta dengan seorang anak laki-laki pindahan di sekolahnya. Film ini tidak begitu mementingkan kisah romantis mereka berdua, tetapi fokus dengan arti posesif itu sendiri.
Kisahnya bermulai ketika Yudhis yang cemburu dengan jadwal latihan Lala, disusul dengan kecemburuannya terhadap sahabat Lala, kemudian dilanjutkan dengan sikap posesifnya terhadap mimpi Lala yang saat itu ingin sekali untuk mengambil kuliah di Perguruan Tinggi Negeri di tempatnya tinggal dengan alasan yang sangat logis bagiku untuk ukuran seorang anak perempuan yang sangat sayang dengan ayahnya. Dan tak jarang pula Yudhis melakukan kekerasan kontak fisik kepada kekasihnya itu.
Kisah ini terus berlanjut hingga Lala mengetahui apa yang telah terjadi di kehidupan Yudhis. Bukan tak punya alasan, ternyata Yudhis seperti itu diakibatkan oleh pengaruh sikap orangtuanya yang kasar terhadapnya. Tak tanggung-tanggung, ibunya tega memukul anak semata wayangnya itu dengan sepatu hak tinggi yang biasa dipakainya. Setelah mengetahui hal ini, Lala pun bertekad ingin menyelamatkan Yudhis.
Mereka pergi meninggalkan rumah mereka masing-masing dan mempunyai mimpi tinggal di Bali. Dengan kehidupan yang aman, dengan anak yang banyak. Akan tetapi, saat di pertengahan jalan, Yudhis menyadari sikapnya yang tak bisa mengatur emosinya terhadap Lala sehingga ia harus memutuskan untuk meninggalkan Lala begitu saja di suatu tempat.
Lala berhasil pulang kerumahnya. Dia meminta maaf kepada ayahnya karena telah meninggalkan rumah begitu saja dan lebih memilih Yudhis ketimbang orangtuanya. Dia masuk sekolah seperti biasa  tanpa ada Yudhis disana. Yudhis menghilang entah kemana. Berusaha melupakan, dia memblokir semua hal yang berhubungan dengan kekasihnya.
Seringkali Lala memutuskan untuk pergi dari kehidupan Yudhis tapi kekasihnya itu selalu berhasil untuk menaklukkan hati Lala kembali, meyakinkan Lala. Hingga suatu hari, saat Lala lari pagi seperti biasanya sebelum latihan tiba, Yudhis datang lagi. Menghampiri Lala lagi. Akan tetapi, tidak seperti sebelumnya, kali ini Lala berhasil mengacuhkan kehadiran Yudhis.

***

Film ini sangat bagus menurutku. Banyak sekali konflik yang tertuang di dalamnya. Banyak drama dan ada banyak nasihat di dalam film ini. Filmnya recommended untuk dilihat bersama pasangan agar bisa belajar lebih tentang arti posesif itu sendiri. Dari film ini juga aku mengetahui bahwa posesif bukan hanya kepada pacar, tapi posesif juga bisa dengan keluarga, mimpi, dan diri sendiri bahkan terhadap sebuah benda sekalipun.
Terkadang pelaku posesif tidak mengetahui ulahnya sampai dia harus diberi sinyal terlebih dahulu. Mereka menganggap telah memberikan semua yang mereka punya, sehingga seseorang harus bisa memberikan feedback terhadap dirinya. Terlalu posesif juga tidak menyehatkan untuk suatu hubungan, tapi bisa membuat boomerang untuk para pelakunya.

“Pada akhirnya, dengan alasan ingin melindungi orang-orang yang paling kucintai, aku malah menyakiti mereka.” 
-Kusumastuti- di @kumpulanpuisi
Share:

Wednesday 8 November 2017

Dicintai dengan Sederhana

Hari ini aku mengajak seorang teman lamaku untuk challenge tulisan lagi. Namanya Juang. Sama seperti yang lalu, masing-masing dari kami memberikan tiga kata yang tediri dari kata benda, kata kerja, dan kata sifat. Aku memberikan "foto, mengadopsi, dan ganas". Sedangkan dia memberiku "es krim, menikam, dan lembut". Dan beginilah hasilnya:

DICINTAI DENGAN SEDERHANA




Pernahkah kalian dicintai secara sederhana?
Ketika dia membelikan es krim dan dinikmati bersama-sama di ujung sawah sambil menunggu datangnya senja tiba.
Pernahkah kalian dicintai secara sederhana?
Ketika dia menyapa lembut dan melihat matamu dengan mesra.
Pernahkah kalian dicintai secara sederhana?
Ketika dia memberikan jaketnya untuk kau kenakan saat hujan tiba dan harus menahan dingin yang menyentuh kulitnya.
Pernahkah kalian dicintai secara sederhana?
Ketika dia memberikan kulit ayam goreng kesukaannya secara sukarela.

Baru kali ini aku merasa dicintai oleh seseorang dengan cara sederhana. Oleh seorang lelaki yang bisa diandalkan untuk membuatku bahagia. Seorang lelaki yang membuatku bangga akan hadirnya.
Dia bukanlah dari keluarga yang kaya raya, tapi aku suka akan gayanya membuatku bahagia. Dia hanya punya kendaraan beroda dua, tetapi bisa membuatku lepas tertawa bersama angin yang menyapa.
Menikmati mie ayam khas pedagang kaki lima atau dengan kacang rebus dan air mineral saja sudah bisa buat bahagia. Bukan tak bisa berfoya-foya, lebih memilih untuk sederhana adalah tujuannya. Masih banyak kebutuhan yang harus terlaksana. Ada tabungan yang harus dijaga.
Tak jarang orang lain mencemooh kami berdua. Mereka menikam dengan kata-kata. Tentang apa yang mereka lihat tanpa memikirkan apa yang telah kami rasa. Ini bukan kisah tentang mereka, ini kisah tentang kami berdua.
Untuk kamu, terimakasih telah mencintaiku dengan sederhana.

Share:

Tuesday 7 November 2017

Lebih dari Sekedar Patah Hati



Apakah kau tahu apa yang lebih sakit dari patah hati?
Ketika kau tak tahu dengan apa yang terjadi pada dirimu.
Ketika orangtuamu merasa sakit akibat ulahmu.
Ketika kau berusaha merubah diri tapi tak bisa.
Terasa seperti ada yang mencegah.

Apakah kau tahu apa yang lebih sakit dari patah hati?
Ketika kau harus berteriak tapi tak tahu mengapa.
Ketika kau harus marah tapi tak tahu mengapa.
Ketika kau harus menahan pahitnya kesunyian.
Ketika kau harus melawan akan hadirnya sebuah harapan.

Ini bukan hanya sekedar patah hati.

Ini lebih dari patah hati.
Share:

Saturday 4 November 2017

Ulah Seekor Tikus



Pagi ini rumahku digegerkan oleh seekor tikus. Awal ceritanya ketika ibu dan aku sedang memasak di dapur untuk menyiapkan makan siang. Saat itu aku sedang mencuci ikan dan membersihkan udang yang akan di goreng dan ibu sedang mengiris beberapa bawang untuk ditambah di masakannya.
***
“Mbak, kamu ada nyium bau amis nggak?” Ibu bertanya kepadaku sambil tangannya tetap lincah memainkan pisau dapur berwarna biru kesayangannya.
Aku mengendus mencari asal bau yang dimaksud oleh ibu, “nggak ada bu.”
“Mungkin bau ikan dan udangnya kali ya mbak?”
“Iya bu.”
Kami melanjutkan memasak tanpa curiga sedikitpun. Tak beberapa lama, kami mendengar bunyi khas binatang itu.
Ciiitttt....... Ciiiitttt.......
Ciiiiiiiiiitttttttt........................
Aku dan ibu saling memandang, tersadar oleh kelakuan si tikus.
Binatang itu mulai mengulah, dia memberikan kode kepada aku dan Ibu agar ia segera ditemukan. Tak hanya mengirimkan sinyal bau, sekarang sinyal suara dia kerahkan. Lantas ibu langsung berteriak memanggil bapak yang sedang menikmati teh panasnya di beranda depan dengan pamanku sedangkan aku dengan sigap menutup semua akses masuk agar dia tak lolos dan segera terkepung.
Bapak datang dengan pamanku. Tidak dengan tangan kosong, paman membawa gagang sapu dan bapak membawa pukulan baseball sebagai senjata untuk melawan tikus. Ibu langsung beranjak meninggalkan dapur sedangkan aku sibuk membereskan perkakas ibu yang masih tergeletak rapi di lantai. Ya, begitulah ibu, beliau lebih suka untuk bekerja diatas lantai ketimbang diatas meja. ‘Lesehan lebih enak’ katanya.
Bapak dan paman  menggeser beberapa lemari, kulkas juga tak luput dari incaran mereka. Tak butuh waktu lama untuk mencarinya, tikus itu langsung ditemukan. Benar saja, dia ketahuan bersembunyi dibalik kulkas. Langsung paman menyogok bawah kulkas dengan gagang sapu yang dipegangnya, tikus berhasil keluar dan bapak sigap memukul tikus dengan tongkat baseball-nya. Tikus berhasil dilumpuhkan!
Aku hanya menyaksikan serangkaian kejadian yang terjadi di dapur. Begitulah aku, suka dengan peristiwa berdarah, tak heran jika aku menggemari film jigsaw dan teman-temannya.
“Mbak, udah nih. Bereskan ya, yang bersih biar gak bau” Pinta bapak kepadaku.
Ah, tikus! Berkatnya aku mendapat tambahan pekerjaan. Sekarang aku harus membereskan dapur tempat dia bersembunyi, menyapu sampah tulang kering yang telah dibawanya, mengepel dapur, dan membilas semua piring, gelas, sendok dan teman-temannya kembali.
Minggu pagiku kali ini ribet sekali berkat kedatangan tamu yang tak di undang itu.
Bagaimana dengan minggu pagi kalian?
Share:

Balada Asam Lambung



“Dindaaaaa..... Dindaaaa.....” Ibu berteriak memanggilku. Kebetulan aku sedang di kamar saat itu.

“Iya bu, sebentar.” Jawabku.

Aku keluar kamar, aku cari sosok yang memanggilku tadi. Aku cari beliau kemana-mana hingga kutemukan sosoknya di ruang keluarga.

Sesampainya di ruang keluarga, tak hanya Ibu, ternyata Bapak dan dua Adikku juga ada disana. Mereka sedang asyik melahap mi bakso sambil menonton mak lampir kesukaan Bapak. Aku tahu itu bakso pak kumis kesukaan keluarga kami dari aromanya saja. Ah, aku suka sekali dengan baksonya. Bakso kesukaanku.

“Ayo makan, kenapa kamu bengong begitu.” Ibu membuyarkan lamunanku.

“Yah, ibu gimana sih, Dinda belum bisa makan beginian. Dokter gak ngasih dinda makan begini selama seminggu.”

***

Oh ya, aku sedang sakit. Asam lambungku sedang tidak normal sehingga dokter tidak memperbolehkanku untuk memakan makanan sejenis bakso, makanan pedas, pahit, dan asam sehingga aku harus makan bubur dan makanan yang tidak ada rasa pedas sama sekali.

***

“Oiya, Bapak lupa nak.” Celetuk Bapak.

Tanpa pikir panjang, aku langsung berlari ke dapur untuk mengambil garpu, berharap diberi beberapa bakso dan mencicipi mi beserta kuahnya. Ah, aku suka sekali. Membayangkannya saja sudah membuat air liurku encer.

Sesampainya di ruang tengah, berbekal garpu yang siap menancap bakso kesukaanku, aku memelas.

“Farhan, mbak minta baksonya satu ya?” Pintaku kepada adik lelakiku.

“Ah, jangan! Mbak kan gak boleh makan bakso!” Dia setengah berteriak sambil menggeser mangkok baksonya menjauhiku.

Kutunggu dia dan anggota keluarga yang lain lengah. Saat dia menoleh untuk melihat serial mak lampir, disitulah kutancapkan garpu ke bakso di mangkoknya. *cesssss* aku dapat satu. Langsung kulahap. Beberapa detik kemudian dia mengetahui aksiku, ‘sial, ketahuan’ batinku. Dia langsung berteriak untuk melaporkan tindakanku ke Ibu dan Bapak. Langsung saja Ibuku marah kepadaku dan berkata, “Awas saja kamu sakit lagi, Ibu gak akan tanggung jawab!”.

“Ibu sih, siapa coba yang mengundang Dinda untuk makan malam bersama? Padahal Ibu sudah tahu kalau Dinda suka sekali dengan bakso ini.” Aku memberontak, langsung saja aku berlari ke kamarku. Merasa diberi harapan palsu, aku langsung mogok makan. Duh, anak-anak sekali tingkahku.

Tak beberapa lama, Ibu datang ke kamarku.

 ‘Kita beli bubur kuah soto disebelah fotokopi aja ya?’ Bujuk Ibu kepadaku dan aku mengiyakan bujukannya.

Yah, begitulah kisahku malam ini. Seorang anak remaja tanggung yang ingin sekali melahap bakso kesukaannya saat sakit asam lambung. Syafakillah, cepat sembuh Dinda.
Share:

Monday 8 May 2017

Jogja, aku rindu.



Jogja. Kota yang selalu kunanti untuk kukunjungi. Kota yang selalu hebat untuk menarik hati.  Entah kenapa, aku tidak pernah bosan dengan kota ini. Ada saja ulahnya memang. Setiap tahunnya pasti ada yang baru, entah itu tentang ceritanya ataupun orangnya.
Masih kuingat kenangan tentang tahun lalu saat keluarga besar  bapakku pergi silaturahmi kesana. Tentang dimana keluarga besar berkumpul bersama. Tentang dimana orang-orang yang tadinya jarang untuk berkumpul bersama karena keterbatasan jarak, kini bisa berkumpul untuk berbagi cerita dan kebahagiaan.
Jogja. Kota yang sangat berbeda pada saat hari raya tiba. Tidak ada petasan, tidak ada kue raya, tidak ada sirup kurnia, hingga tidak ada tunjangan hari raya. Kotanya sangat sederhana bahkan saat hari raya tiba. Terkadang saat aku berada di Jogja disaat seperti itu, aku juga rindu akan Medan. Rindu makan lontong dengan rendang, rindu akan tunjangan hari raya karena ini hal yang paling wajib untuk pemasukan. Manusia memang seperti itu, tak pernah puas dan selalu labil.
Banyak hal sederhana yang kurindukan akan kota ini, akan kenangan kebersamaan dan kesederhanaannya. Saat malam dengan kopi jos dan pisang rebus, saat pagi dengan cucian baju yang penuh di ember saat nyuci di kali dengan sepupu sepupuku, saat siang dengan keindahan alamnya saat di ajak berkeliling, saat sore dengan menikmati senja karena masih banyak lahan kosong, dan saat maghrib dengan ketentraman suasananya.
Hari demi hari menjadi minggu, mingu demi minggu menjadi bulan, dan bulan demi bulan menjadi tahun. Tak terasa, sudah setahun aku tidak mengunjunginya. Ingin sekali aku didekap Jogja dalam ketentramannya. Hanya saja, aku harus menunggu setahun lagi kesana.
Jogja, aku rindu.
Share:

Nila dan Dila



Hi masa kecilku!
Tak terasa waktu sangat cepat berlalu.
Aku, seorang gadis mungil, berusia 19 tahun sangat rindu dengan kisah masa kecilku. Banyak hal yang telah terjadi, hanya saja hal itu tak bisa terulang lagi.

Hi masa kecilku!
Aku ingin selalu mengenangmu, tentang apa yang telah kulalui bersamamu. Tentang hal-hal konyol yang terjadi. Tentang pertemanan yang tulus, yang tak mengenal kata fake.

***

Bicara tentang pertemanan, aku punya seorang teman masa kecilku. Sebut saja dia Nila, karena memang itulah nama aslinya. Jangan tanya tentang nama lengkapnya, karena namanya sungguh sangat lengkap. Sangat berbeda denganku, simple, hanya terdapat dua suku kata, Sindy Nadila. Sedangkan dia? Zuhroh Nilakandi Maulida Adinda. HAHAHAHA. Ga kebayang kan gimana sewaktu dia harus menghitami lingkaran saat Ujian Nasional berlangsung? Hai kak Nila, so sorry :p
Kami tinggal di komplek yang sama, dengan rumah yang berbeda. Rumah kami bersebelahan. Orang tua kami masih menyewa pada saat itu, sehingga kami harus menerapkan prinsip “no maden” dari kakek nenek moyang kami. Tetap di komplek yang sama, tetap bersebelahan walaupun kami sudah pernah pindah kesana-kemari selama 4 kali.
Sering kali kami menghabiskan waktu bersama, mulai dari ngobrol bareng, main game bareng, makan bareng, tidur bareng, sampai mandi bareng. Kami punya banyak perbedaan, mulai dari nama, muka, hingga sifat. Sifatku dan dia sangat bertolak belakang. Aku bersifat keras, jarang nangis, dan sangat bising. Sedangkan dia, lembek, suka nangis, dan sangat pendiam. Hingga tak jarang jika kami bermain bersama, saat aku merebut mainannya dia nangis dan langsung mengadu dengan mamanya.
Hubungan kami sangat harmonis hingga aku pindah ke komplek lain dikarenakan orang tuaku sudah membeli rumah disana. Hubungan kami mulai renggang, tak seharmonis dulu. Tidak ada lagi main game bareng, makan bareng, tidur bareng, sampai mandi bareng.
Kebetulan sekarang kami berada di kampus yang sama, fakultas yang sama dengan jurusan yang berbeda. Aku dan dia sangat jarang untuk bertemu, pernah sesekali, namun, aku dan dia malu jika bertemu. Mungkin tidak malu, cuma sedikit canggung, tak tahu harus berbicara tentang apa, tak tahu harus bagaimana. Saat berjumpa, kami hanya sekedar bertegur sapa dan tersenyum, kemudian pergi dengan tujuan kami masing-masing.

Hi teman masa kecilku!
                Bisakah kita mengulang waktu? Aku rindu denganmu.
Share: