Monday 11 December 2017

Ilya. I love you, always.



Saat ini aku duduk di beranda rumah-ditemani secangkir cokelat hangat sambil mencium bau khas tanah yang diperawani oleh hujan-sedang membaca buku yang kau berikan kepadaku. Saat itu kau sedang menggebu-gebu menceritakan kisahnya hingga kau memaksaku untuk tenggelam didalamnya, “Aku rasa kamu harus membaca buku ini deh, yang.” katamu sambil menyodorkan sebuah buku yang tak tahu sejak kapan kau menyukai hal semacam itu. Konspirasi Alam Semesta tertulis dengan jelas menghiasi covernya.

Entah berapa kali telponku bergetar, menandakan banyaknya notifikasi yang masuk. Namun, aku terlalu menikmati kisah yang ditorehkan sang penulis sehingga kabar darimu pun kuhiraukan untuk sejenak. Aku yang terlalu suka akan buku cerita, tak bisa menolak jika seseorang memberiku hal semacam ini. Maka tak ayal jika lemari buku yang berdiri kokoh di kamarku berisi tentang deretan judul cerita yang acapkali membuatku lupa akan dunia, padahal seharusnya buku yang penuh dengan rumuslah yang harus berdiri tegak di lemari itu.

Di suatu halaman aku tertegun. Tertulis kata Ilya disana. Mengingatkanku akan pesanmu tempo lalu. Ihh, dasar! batinku. Tak ada aba-aba, senyum mengembang menghiasi wajahku tanpa permisi. Aku baru menyadari bahwa kau tak lebih dari seorang lelaki yang berusaha untuk menggodaku tempo lalu. Sebelum membaca buku ini pun, aku terheran-heran karena pesanmu. ‘Ilya’. Hanya itu yang kau kirimkan kepadaku. Aku bertanya. Sejurus kemudian pesanmu masuk, ‘I love you, always :)'. Senyumku mengembang kembali saat mengingatnya, dan kali ini memperlihatkan gigiku yang dihiasi oleh kawat berwarna.

Sesederhana itu kau bisa membuatku bahagia. Aku tak tahu apakah aku yang terlalu gampang untuk digoda, atau kau yang terlalu ahli dalam hal semacam itu. Aku tak tahu. Pun tak lagi kupikirkan tentang itu, aku hanya ingin menikmati prosesnya. Aku suka untuk kau buat bahagia. Aku suka saat hatiku menghangat dan aku sangat suka saat jantungku berdebar walau kutahu kata-kata itu hanya kau contek dari sebuah buku yang sangat kau sukai belakangan ini.

Kemudian pikiranku langsung melayang mengingat kebersamaan kita kala itu, sebelum akhirnya kau dan aku terpisah antar pulau. Aku dan kau berada di dalam sebuah gerbong kereta api. Berbagi kisah, canda dan tawa bersama. Tak jarang juga perutmu menjadi sasaran empuk cubitan mautku hingga aku harus melihatmu menahan aduh akibat ulahku. Hahaha, aku bahagia.

Aku mengerti bahwa sebuah hubungan tak harus diperlihatkan kepada dunia. Aku tahu bahwa kau menyayangiku tanpa harus kau menggodaku dengan kata ‘ilya’ yang kau contek dari buku itu. Aku tahu bahwa kau akan menjagaku tanpa harus kau ingatkan aku makan karena terkadang aku tak sadar akan penyakitku. Aku tahu bahwa kau merindukanku... di kota kelahiranku.

Kini kita sudah terpisah jauh. Aku tak khawatir untuk meninggalkanmu di kota itu. Aku percaya padamu. Tunggulah aku di kota itu membawa sekantong rindu untuk bisa berada di dekapanmu. Ah, aku benci dengan suasana melankolis seperti ini. Ingin sekali aku berhenti berkisah tentang dirimu, karena aku benci saat aku tenggelam oleh dirimu. Terlebih, aku benci untuk merindukanmu.


Untuk kamu, aku mencintaimu.
Share:

0 komentar:

Post a Comment