Tuesday 17 April 2018

Tentang Dia



Iringi aku sayang
Aku pergi untukmu
Merangkai mimpi lewati waktu
Semua itu jalan kita
Akan ku jaga, kubina slamanya
Rasa didalam hati, walau diriku jauh
Kuingin kau menunggu, sampai kudatang padamu

(Seandainya - Sheila On 7)

***

Aku selalu bertanya-tanya, apakah kau sudah lelah untuk merindukanku? Mendengar suaraku saat malam tiba? Berkisah tentang hal apapun kepadaku?  Apakah kau sudah lelah, sayang?

Saat kau bersamanya, apakah kau memanggilnya seperti kau memanggilku saat bersamaku? Aku ingin bertanya, apakah sama rasanya, sayang?

Kau bilang itu caramu agar tak bosan terhadapku. Katamu juga, semua itu tak berarti apa-apa buatmu. Tapi apakah kau tahu, itu selalu membunuhku perlahan-lahan di setiap waktu?

Katamu kau sayang kepadaku. Katamu kau takut kehilanganku. Pun katamu aku yang terbaik untukmu. Tapi kenapa kau masih mencari yang baik dari yang terbaik, sayang?

Bukankah kau tau jika aku selalu menunggumu disini? Aku selalu menata hatiku disini. Aku selalu membangun tembok rindu disini, agar saat pulang nanti, aku bisa menghancurkan tembok itu di dekapanmu.

Kau masih menjadi pemilik hatiku. Kau masih menjadi pemiliknya. Kau masih menjadi sosok yang selalu aku butuhkan. Terlebih, kau masih menjadi tempatku untuk pulang. Apakah kau tahu itu, sayang?

***

Medan, 18 Maret 2018
Diselesaikan sambil menunggumu tiba.
Share:

Saturday 10 March 2018

Kisah Dibalik Langit Merah


Bisakah kau hidup tanpa teduhnya wanita, yang di setiap sujudnya terbisik namamu.
Dia cerminan sisi terbaikmu, lindungi hatinya.
Sekalipun di dalam amarah.

***

Tak terasa sudah dua jam lebih aku duduk berdua dengan  wanita ini. Seorang wanita kuat yang ku kenal sebelumnya. Tak tahu kapan terakhir kali ia menyesap kopinya, hingga kembali ia berkutat dengan buku dan penanya. Kulihat ada nama lelaki itu disana. Ia menuliskannya.

Ingin rasanya aku bertanya dan memastikan keadaannya baik-baik saja. Tetapi bukankah itu sebuah tindakan bodoh yang akan membuat keruh suasana? Bukankah aku sudah tahu jawabannya bahwa ia tidak baik-baik saja? Dasar lelaki bodoh.

"Ra..." aku memanggilnya.

Ia melihatku. Sejurus kemudian ia melihat ke arah jendela, mencoba untuk mengabaikan keberadaanku.

Langit semakin memerah di luar sana. Begitulah yang kurasakan ketika ia melihat keluar jendela. Tetapi sang langit tak kunjung menunjukkan pengaruh besar kepadanya. Pun bagiku suasana di kafe ini tetap saja terasa dingin walaupun dipenuhi oleh manusia lainnya.

Wahai langit, bukankah seharusnya kau bisa membuat wanita ini menghangat karena warnamu? Ayolah, tunjukkan kehebatanmu.

Aku memandangnya. Yang dipandang masih melihat ke arah jendela. Masih setia dengan langit berwarna merah. Aku terus memperhatikannya. Aku melihat ketulusan yang ada padanya. Ketulusan yang membawa cinta ada bersamanya.

Tetapi, bukankah wanita tetaplah seorang wanita?

Aku tak habis pikir, lelaki mana yang tega membuatmu menjadi sendu hingga berbicara pun tak mau. Sejauh aku bersamamu, selama dua jam berlalu, belum ada satu kata pun yang keluar dari mulutmu.

'Ayolah, ucapkan sesuatu. Jangan menjadi begitu kelu. Kemana dirimu yang dulu, hai wanita?'

"Ra..." aku memanggilnya, masih belum menyerah. Ia masih melihatku, sama seperti saat kupanggil namanya kali pertama. Tetapi kini tak lagi melihat ke arah jendela. Ia menyesap kopinya dan berkutat kembali dengan kopi dan penanya.

Lagi-lagi kulihat nama lelaki itu tertulis disana, sejurus kemudian ia pun menumpahkan pertahanannya.

Ia menangis.

'Apa lagi yang dilakukan lelaki itu terhadapmu? Bukankah kau sudah berjanji kepadaku akan bahagia bersamanya tempo lalu?'

Aku memegang tangannya, berharap bisa merasakan semua yang dirasakannya. Pertahanannya semakin goyah terlihat dari air matanya yang kian deras. Kupeluk ia. Berharap bisa menguatkannya.

'Sudahlah Ra. Lupakan ia. Simpanlah ketulusan dan kekuatanmu untuk pria yang menganggapmu ada. Lupakan ia yang sering membuatmu kecewa. Ra, kuatlah, aku akan selalu ada walaupun kau tak pernah menganggapku ada.'

***

Jogja, 10 Maret, hampir tengah malam.
Diselesaikan sambil memutar lagu Teduhnya Wanita dari Raissa berulang kali.
Share:

Friday 9 March 2018

Kepadamu, terima kasih.


Malam itu aku mengadu kepadamu tentang perasaan yang belakangan ini ada. Dia menghampiriku dengan tiba-tiba saat kau tak bercerita tentangnya. Kemarin malam kusinggung tentangnya, begitu juga dengan hari-hari sebelumnya. 

Tapi, pedulikah kau dengan apa yang ku rasa? Tidakkah kau sadar bahwa kenyamanan adalah hal utama? Tapi lihatlah. Kau lari dengan mudahnya tanpa menggubris apa yang sudah ku rasa. Kau terlena dengan anganmu jua hingga ku harus menyimpan asa.

Haruskah aku membalas agar kau juga merasakannya? Atau... Kubiarkan saja karma yang bekerja? Ah, bahkan sedikitpun aku tak pernah berniat untuk membalasnya.

Sudahlah. Mungkin ini sudah akhirnya. Tingkahmu sudah membuatku lelah. Tapi takkan kubiarkan kau membuatku mati perlahan-lahan karenanya. Ku biarkan semua berjalan dengan semestinya karena ku percaya kau pasti akan berubah.

Kepadamu, terima kasih telah membantuku lebih sabar dan bersikap dewasa. Aku menghargainya.

Jogja, 09 Maret, hampir tengah malam.
Share: