Tuesday 22 January 2019

Fatamorgana


Sunday night after a rainy day
I delete all your pictures
I walked away from you

Nights are the hardest
But I'll be okay
If we are meant to be

Yeah we'll find our way
But now let it be

Cause you know what they say
If you love somebody
Gotta set them free

I love you but I'm letting go
I love you but I'm letting go

***

“Kemarin aku liat kamu jalan sama dia.”
“Maaf.”
“Kenapa minta maaf? Kamu ga salah, aku juga. Keadaan yang salah.”
“Tapi tetap aja aku ngerasa engga enak sama kamu.”
“Engga. Aku gapapa.”
Aku diam. Kau juga. Namun tak berapa lama kau kembali angkat bicara, melepas keheningan di antara kita berdua.
“Benar kata Pamungkas, I love you but i’m letting go.
Aku masih diam, tapi kali ini mataku yang berbicara seolah sudah tak kuat lagi untuk menahan segalanya.
Akhirnya pertahananku tumpah, aku menangis. Kau memelukku. “it’s okay.” katamu. Berusaha untuk menenangkanku.

Kini aku berada di dekapanmu. Di dekapan seorang lelaki yang aku kenal dua bulan yang lalu.
“Gapapa kalau kamu lebih memilih dia. Itu hak kamu. Tapi yang perlu kamu tahu, aku bakal selalu ada disaat kamu jatuh.” lagi-lagi kau berusaha untuk menenangkanku, tapi tetap saja aku semakin menangis dibuat olehmu.
“Kamu ga harus bilang kayagitu ke aku.” sanggahku. Kali ini aku benar-benar merasa jahat.
“Kenapa?” kau bertanya dengan heran, terlihat dari kerutan di antara alis lebatmu.
“Karna aku udah jahat sama kamu.”
“Kamu ga jahat kok. Kamu ga pernah jahat sama aku. Malah aku beruntung bisa kenal kamu. Kamu udah buat aku bangkit lagi disaat aku jatuh, support aku bahkan lebih dari keluargaku sendiri. Kamu yang percaya sama semua mimpiku.” Kini kau semakin mendekapku, berusaha mengatakan kalau kau baik-baik saja.

Ntah apa yang aku pikirkan saat ini. Aku hanya berharap kau akan baik-baik saja. Berharap kau akan menggapai semua mimpimu suatu hari nanti. Berharap kau akan selalu bahagia dengan jalanmu sendiri.

Ternyata begini rasanya ketika mencintai seseorang dengan tulus. Membiarkanku berjalan meninggalkanmu sendirian, melihatku membawa separuh hatimu walaupun aku tetap memilihnya. Kau menghargai segala keputusanku meskipun aku tahu itu berat untukmu. Kau baik. Aku tak menyesal mengenalmu. Aku harap kau pun juga begitu. Layaknya sebuah fatamorgana, kau adalah kau yang selalu menjadi bagian dari hidupku, tak ada namun selalu terlihat. Kau akan selalu punya bagian tersendiri di dalam hatiku dan kau akan selalu memilikinya.

***

I love you but I'm letting go
I love you and I'm letting go

And from now on I will hold my own hand
Until one day you'll hold my lonely hand
(Pamungkas - I love you but I’m letting go)
_
Share:

Saturday 19 January 2019

Hitam dan Putih


Malam itu kau dan aku sedang berada di balkon rumahmu, di tempat favorit kita. 
Aku sandarkan kepalaku di bahumu dan seperti biasa, kau langsung mengusapnya dengan lembut. Aku melihat bintang, memperhatikan bagaimana seharusnya semesta bekerja begitu juga denganmu. Sama seperti malam biasanya, ketika aku dan kau merasa penat dengan dunia, dengan semua yang telah kita jalani, kau dan aku akan kabur kesini, ketempat ini untuk melupakan sejenak apa yang telah terjadi. Aku tak tahu kenapa bisa merasa nyaman dengan hal sederhana seperti ini, tapi tak masalah jika bersama denganmu.

“Sayang.”
Aku memanggilmu.
“Iya?”
“Kenapa?” kau bertanya kembali. Memastikan apakah aku baik-baik saja setelah diam usai memanggilmu saat itu.
“Dari sekian banyak warna di dunia ini, warna apa yang akan kau berikan padaku?”
“Hitam.” kau spontan menjawabnya.
“Hitam?” aku tampak bingung.
“Iya, hitam dan putih.” aku diam. masih bingung dengan jawabanmu.

Aku memutar otak. Bertanya-tanya akan jawabanmu.
Hitam?
Kenapa harus hitam?
Bukan, bukan itu jawaban yang aku mau.
Dari sekian banyak warna, kenapa hanya hitam dan putih yang kau beri untukku? Padahal ku rasa kau punya banyak pilihan lain untuk itu.

Jingga misalnya. Tapi saat aku memintanya, kau menolaknya mentah-mentah.

”Aku mau jingga.” kataku malam itu.
“Jingga sudah terlalu banyak disukai banyak orang. Kau yang lain saja.”
“Bagaimana kalau merah muda?”
“Aku benci merah muda.”
“Kalau begitu, aku mau biru.”
“Biru apa?” kau bertanya, mungkin bingung dengan pilihanku kali ini.
“Biru tua. Warna kesukaanmu.”
Aku melihatmu. Kau diam, tampak ragu.
Tak lama kau mengangkat dagu, melihat ke arahku, “Mungkin ada baiknya aku memberikanmu hitam dan putih saja.”
“Kenapa? Bukannya ada warna lain yang lebih bagus dari hitam dan putih? Abu misalnya?”
“Aku tahu.”
“Jadi kenapa kau memberikan hitam dan putih?”
“Karna kau spesial.”
“Bagaimana bisa?” tanyaku penuh harap.
“Kau begitu spesial sampai aku tak tahu harus memberimu warna apa. warna jingga, merah muda, bahkan warna kesuakaanku gak akan cukup untukmu. Aku rasa warna-warna itu akan memudar tetapi putih tetaplah akan menjadi putih, dan hitam akan selalu menjadi hitam.” kau menjelaskan dengan begitu semangat kepadaku, dan aku masih belum paham maksudmu.
“Lantas, apa hubungannya denganku?”
“Kau seperti hitam dan putih. Karena kau adalah kau. Aku tak mau kau berubah seperti warna lainnya. Dan bagiku, kau spesial.”
Aku menciummu tepat setelah mendengar penjelasanmu dan kau bertanya dengan heran, “Kenapa kau menciumku?”
“Karena aku takjub dengan jawabanmu.” kataku.
“Iya, aku tahu kau akan takjub.”
“Lantas kenapa kau bertanya padaku?” kau membuatku heran. Untuk kesekian kalinya.
“Iya, maksudku, kenapa harus di bahuku?”
“Karna kau spesial.”
“Jawaban yang aneh.” katamu.
“Aku belajar darimu.” jawabku membela diri.
Kau tertawa, begitu juga denganku.
Dan malam itu kita tutup dengan suara tawa bahagia kita berdua.
Dan malam itu pula, aku merasa spesial dari biasanya.
Share: