Sunday 1 November 2020

Perpisahan yang Disengaja

(Pict. by Abdurrahman Ar Rifqi)

I dive in your eyes

Past your desires

Just you and I

Painting on a dark sky


I dive in your eyes

Past your desires

Just you and I

Painting in the dark sky

 (Skin to skin - Monica Karina ft. Dipha Barus)

***

Sudah tak terhitung berapa kali lagu yang dibawakan oleh Monica Karina itu aku putar. Entahlah, yang ku tahu setiap aku memutarnya, lagu itu selalu saja berhasil mengingatkanku denganmu—dengan semua kenangan kita di kota itu, di tempat kita bertemu dan berbagi kisah.

Aku ingat sekali di hari aku kembali ke kotaku, di tengah riuhnya suasana bandara kala itu, aku memelukmu. Aku hanya ingin menikmati detik demi detik waktu berjalan maju tanpa ada kata yang terucap, mendengarkan detak jantungmu yang terus berbicara bahkan lebih banyak dari bibir yang berucap walau hati ini diam-diam penuh harap.

Rasanya baru kemarin kau mengajakku berkeliling kota Jogja dengan motor yang selalu kau beri cap ‘racing’ itu. Namun, nyatanya kini kita harus berpisah dengan jarak yang kita tangisi pada malam-malam yang lalu. Sekarang aku mengerti, sebaik-baiknya pemberian adalah waktu, terlebih itu adalah waktu darimu.

Jika jarak adalah ketakutan, semoga kau adalah kekuatan yang bisa membuatku bertahan. Jika segala kesedihan selalu diikuti dengan kebahagiaan, aku berharap perpisahan akan diikuti oleh sebuah pertemuan.

Aku selalu berdoa kepada Tuhan, semoga mencintaimu adalah hal baik buatku dan barangkali kita perlu paham tentang ini, ‘tak semua hal harus sesuai dengan apa yang kita mau.’ Sementara, aku hanya bisa berdoa—untuk raga yang tak bisa aku peluk, tangan yang tak bisa aku genggam, aku berharap semoga Tuhan memberikan kita ruang untuk sebuah pertemuan dan aku percaya bahwa semesta punya banyak cara untuk membahagiakan.

***

Medan, 01 November 2020

Diselesaikan oleh orang yang selalu berhasil kau buat jatuh cinta setiap harinya.

 

Share:

Monday 27 April 2020

Sebuah Perjalanan Menuju Kematian





Waktu berlalu bersama jejak kisah yang tak dapat aku ulang. Perihal bagaimana aku melihat kehidupan yang telah aku jalani, aku ingin memuji diriku sendiri yang sudah berjuang sehebat ini. Tak ingin memaki, seperti tak tahu diri.

22,
dua puluh dua.

Terhitung mulai hari ini hingga satu tahun kedepan, angka kembar itu yang akan menghiasi hari-hari. Namun sayangnya, tanpa aku tahu kapan harus berhenti, masih banyak kisah yang bisa dituliskan di lain hari. “umur tidak ada yang tahu”, kata mereka.

Sebenarnya, tak ada yang bisa diharapkan dari sebuah jalan menuju kematian, pun tak ada pula yang bisa dibanggakan dari sebuah pengurangan.

Kepada Tuhan yang telah memberikan masa untuk merangkai kisah, bolehkah aku meminta satu waktu yang bisa aku peluk? Aku ingin mengenangnya.

Share:

Monday 13 April 2020

Sebuah Surat


I know we've been over this, it's nothing new
You're still gonna be leaving me here
It's easier hating you than missing you
But I don't wanna be feelin' this way

But keepin' you close shouldn't be hard
If you were honest when you said you missed me
You've played with my pride
Making me feel like we had something real

(Shouldn't Be - Luke Chiang)

***

Lewat surat ini, aku ingin bercerita tentang bagaimana perasaanku padamu. Sejak Desember silam, rasa-rasanya tak pernah sekalipun aku mengabaikanmu. Kamu datang untuk bercerita, aku siap untuk mendengarkan. Kamu datang untuk berkeluh kesah, aku siap untuk menenangkan. Namun, nyatanya semua itu sia-sia setelah aku berulang kali mendengar kabar tentang kisahmu dengan pria lain.

Hatiku hancur lebur menjadi satu, perasaanku terombang-ambing tak menentu. Aku terlalu menerka-nerka perasaanmu padahal aku tahu ada orang lain yang kamu pikirkan saat itu. Aku pernah berlari jauh untuk mengejar genggamanmu hingga aku sendiri tak sadar, semakin lama aku semakin terhanyut dalam ekspektasiku—tentangmu.

Perlahan aku ingin menyerahkan kisah kita kepada tuhan. Aku rasa kamu tak akan bisa menjadi ‘pernah’ untuk aku yang terus menjadikanmu ‘akan’. Mungkin memang benar, Tuhan mempertemukan kita hanya untuk berbagi sapa, bukan untuk berbagi rasa. bersama surat yang aku tujukan padamu ini, aku menanti semua jawabmu. Tentang bagaimana kau membalasnya, biarlah itu menjadi urusan semesta. Aku hanya berharap, kamu segera menemukan tenang di tengah riuhnya keadaan.

Untukmu, terima kasih telah datang.

***

Medan, 12 April 2020.
Share:

Thursday 13 February 2020

Perjalanan Anak Manusia




Tiap manusia tumbuh, tapi hanya sedikit yang berkembang. Tiap manusia bertambah usia, tapi hanya sedikit yang bertambah dewasa. Benar bukan?
Terkadang kita lupa bahwa tiap manusia punya prosesnya masing-masing. Tak bisa disamakan, tak bisa pula dibanding-bandingkan. Tiap manusia punya hak untuk dirinya masing-masing yang tak bisa pula untuk dipaksakan.

Namun, bagaimana dengan harapan?
Ya, tiap manusia pasti punya harapannya kepada seseorang. Dari orangtua kepada anaknya, dari sang kekasih kepada pasangannya, dari seseorang kepada orang yang bahkan belum pernah ia jumpai sebelumnya.

Lantas dengan harapan mereka, kau akan jatuh dan terpuruk oleh pikiranmu sendiri? Oleh tanggapan orang lain?
“Aku harus ini, aku harus itu.” atau, “Kamu harus ini, kamu harus itu.”
Kau lupa bahwa dirimu adalah kau. Kau lupa kaulah yang memegang semua kendali atas dirimu. Ya, emang benar, harapan. Kita semua terbebani oleh harapan itu. Padahal bagi kita, apa yang sudah kita jalani selama ini adalah versi terbaik untuk kita. Kita punya kendali atas itu.

Sebenarnya tak ada yang salah. Hanya saja kita hanya perlu menikmati prosesnya.
Ibarat sebuah pohon, tidak ada bunga yang mekar secara bersamaan, selalu berbeda. Begitu juga dengan manusia. Terkadang kita hanya lupa untuk mengingatnya.

Jadi, teruslah berjuang selagi bisa. Wujudkan harapan mereka. Perjalananmu mungkin terasa berat, mungkin kamu merasa sendiri. Tapi percayalah, masih ada orang yang mendukung prosesmu. Kau hanya perlu bersabar dan menikmati segala prosesnya.


Untuk siapapun itu, semangat berjuang ya, kalian!



Share:

Sunday 9 February 2020

Dari aku, yang mengagumimu.




Tak terasa sudah setahun lamanya sejak kita bertemu untuk pertama kali. Kala itu kau tersenyum, begitu pula denganku. Sejak saat itu, aku langsung mengagumimu dalam diam. Namun, pelan-pelan kutepis perasaan itu agar tak berlanjut lebih dalam.

Tapi, apa kau tahu? Tanpa aku sadari, ternyata ada sesuatu yang tumbuh diam-diam. Tanpa aku sadari, ternyata ada harapan yang aku genggam erat kepadamu begitu dalam. Tanpa aku sadari, aku telah jatuh cinta.

Bagiku, menyayangimu begitu mudah hingga aku tak sadar kapan aku memulainya, yang aku tahu hanyalah jatungku berdebar kencang saat aku sedang bersamamu.

Aku bahkan sangat yakin dengan perasaan ini. Hanya saja, aku tak tahu bagaimana caranya untuk menunjukkannya kepadamu. Aku takut dengan pikiranku sendiri. Aku takut saat kau mengatakan “tidak” saat aku menanyakan kepastiannya. Ekspektasi telah membawaku terlalu jauh hingga aku sudah kalah sebelum memulainya.

Tapi, bagaimana bisa menyayangimu begitu mudah? Bagaimana bisa aku melakukannya tanpa rasa bosan dan penuh harap?
Lagi-lagi aku hancur oleh ekspektasiku sendiri.
Ekspektasi yang membawaku untuk terus meyayangimu dan perlahan aku mulai tersadar akan sikapmu. Menaruh hati diatas ketidakpastian sikapmu sama saja dengan menaruh tangan di tangan seseorang yang tak ingin menggenggam. Kau tak ingin menggenggam namun terus kugapai. Aku yang terus menggapai namun kau terus abai. Rasanya seperti aku yang dipukul mundur agar segera menjauh darimu.

Tapi sudahlah, aku saja yang berpikir terlalu jauh. Berangan-angan untuk bersamamu hanya membuat rasa ini semakin dalam. Kita bagaikan langit dan bumi, kau yang terlalu jauh untuk kugapai walau aku terus berusaha. Biarlah aku menyimpan perasaan ini rapat-rapat hingga sejauh mana aku kuat.



Dari aku, yang mengagumimu.

•••
Medan, 09 Februari 2020.
Diselesaikan oleh aku yang mengagumimu sambil mendengarkan lagu Singgah dari Bilal yang diputar berulang kali.
Share: