Skip to main content

Tentang Dia : Tak Ada Lagi Kita

            

Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua, namun tampaknya wanita itu masih saja belum bisa merebahkan diri di atas ranjangnya. Masih sama seperti empat jam yang lalu, di hadapannya terdapat sebuah layar yang cahayanya cukup menusuk mata untuk orang yang tidak terbiasa melihatnya. Terlihat sebuah kursor yang kedap-kedip sedari tadi, dan wanita itu hanya meliriknya tanpa menyentuhnya sedikitpun. Entah apa yang di pikirkannya sejak tadi. Keheninganlah yang menghiasi seluruh kamarnya malam ini. Hanya bunyi deru mesin komputer yang beradu dengan detak jarum sebuah jam yang berada tepat di sebelah layar yang menyala itu.
Wanita itu menghela nafas. Diraihnya telepon genggam di sebelah komputernya. Dilihatnya notifikasi. Kemudian diletakkannya kembali.
Wanita itu menghela nafas kembali, teringat akan kejadian tempo lalu.

***

Dua minggu yang lalu.

Angin berhembus sangat dingin malam ini, terlihat dari tangan kirinya yang sibuk merapatkan jaketnya dalam dalam ke arah tubuhnya. Di hadapannya telah ada seorang pria yang sedang menggenggam tangannya. Wajahnya tertunduk layu menandakan bahwa pria itu sedang tidak baik-baik saja.
“Maafkan aku.” Akhirnya dia berani angkat bicara setelah sekian lama mereka terdiam dengan suasana yang dingin ini. “Maafkan aku telah mengecewakanmu.”
“Sudahlah. Semuanya sudah berlalu. Kau sudah kumaafkan tanpa kau meminta. Aku hanya tak ingin dikecewakan olehmu lagi. Rasa percayaku sudah hilang bersama sikap bodohmu waktu itu.” Ucap wanita itu sambil melepaskan genggaman pria di hadapannya.
Namun genggamannya semakin kuat, pria itu membela diri. “Aku tak bisa melepaskanmu begitu saja. Aku sayang sama kamu. Aku tahu aku salah, tindakanku terlalu bodoh waktu itu. Aku minta maaf.”
Merasa cukup lelah dengan pria yang ada di depannya, wanita itu tak membalas.
Cahaya lampu taman sangat cantik malam itu. Dan hal itu seperti mengkhianati suasana hatinya yang dingin, seperti angin malam ini. Dia hanya diam dan berjalan pergi meninggalkannya. Sama seperti tindakan bodoh pria yang bersamanya tadi, meninggalkannya dan pergi dengan wanita lain.

***

Kembali diraihnya telepon genggam di sebelah komputernya. Dilihatnya notifikasi. Namun, benda kecil itu tidak diletakkannya lagi. Kini wanita itu sudah memantapkan hatinya untuk pergi meninggalkan pria yang sudah mengecewakannya. Diketiknya salam perpisahan dan sejurus kemudian dikirimnya ke alamat email pria itu tanpa ragu.
Kini wanita itu telah siap untuk memulai kisah baru dengan orang baru.





Comments

Popular posts from this blog

Kesalahan yang Tak Ingin Aku Ulang

      Kalau mencintaimu adalah sebuah kesalahan, seharusnya kita tak perlu bertemu sejak awal. Kalau menyayangimu adalah sebuah keikhlasan, rasanya aku tak perlu membuang waktu untuk menimbun harapan lebih dalam.                Aku tak pernah menyangka kita akan menjadi asing walau pada akhirnya semua pertemuan selalu saja mempunyai akhir. Aku terlalu tinggi meletakkan ekspektasiku terhadapmu sehingga aku selalu terlena atas sikapmu. Terkadang aku masih memikirkannya, ‘Kenapa harus aku?’, padahal rasanya tak pernah aku mencintaimu dengan ragu. Rasanya tak pernah pula aku menyambutmu dengan senyum yang palsu. Tapi, kenapa? Kenapa harus aku?       Segala sesuatu pasti punya ciri khasnya, seperti 'Bogor' yang selalu lekat dengan kata 'hujan' dan menurutku, 'Kau' akan selalu lekat dengan 'keluguan'. Lucu sekali rasanya kalau aku harus mengingat keluguanmu. Keluguan palsu yang sukses kau buat untuk membodohi...

[Cerbung] Semua Serba Salah

Malam ini tak seperti biasanya, Rina malas untuk belajar ataupun sekedar mengulang materi yang telah diajarkan di kampusnya. Hal ini membuat Rina untuk beralih mengerjakan sesuatu yang lain, sesuatu yang sangat disukainya selain melihat drama korea. Saat itu Rina sedang asyik dengan game puzzle di handphone nya, tak lama hpnya berbunyi menandakan ada telepon masuk. Dari Raka. Seperti biasa, setiap malam mereka bertelepon. Berbagi kisah tentang apa yang sudah mereka jalani, tentang atasan yang ribet, tentang teman-teman Rina yang bawel, tentang pekerjaan Raka, tentang kuliah Rina, bahkan tentang keluarga mereka. *** “Halo sayang... Lagi apa nih? Ngegame lagi ya?” Raka tahu betul apa yang disuka oleh wanitanya, bermain game salah satunya. “Iya dong, biar gue ga bosen nungguin lo. Lo gitu sih, ribet. Mandi lebih lama dari gue, milih baju lebih ribet dari gue, makan harus ada sambel. Woi cabe mahal woi!” “Hahaha, bisa diganti pake merica kok sayang.” “Pedes meric...

Sebuah Rasa dalam Secangkir Cokelat Panas

          Aku tak tahu persisnya sejak kapan rasa ini mulai muncul. Manis dan pahit layaknya secangkir cokelat panas yang kau berikan saat pertama kali kita bertemu; rasa manis yang selalu saja berhasil membuatku tersenyum, pun rasa pahit yang terkadang berhasil membuatku melamun.            H ari itu, sambil menyesap secangkir cokelat panas yang kau berikan kepadaku, kita saling memandang dan tersenyum. Aku ingat betul, kau hadir di saat langit diselimuti oleh awan yang membuatku berpikir bahwa kau akan sama teduhnya dengan langit waktu itu. Hal-hal kecil yang kau berikan, selalu saja berhasil membuatku semakin yakin atas sikapmu. Namun nyatanya aku salah, hal-hal kecil itu adalah caramu untuk mengkhianatiku.           Aku merasa bodoh. Rasanya ingin marah, tapi aku tak mampu. Aku tak mampu untuk bertemu denganmu lagi. Aku takut. Takut akan kebohonganmu lagi.          ...