Saat ini aku duduk di beranda rumah-ditemani secangkir cokelat hangat sambil mencium bau khas tanah yang diperawani
oleh hujan-sedang membaca buku yang kau berikan kepadaku. Saat itu kau sedang
menggebu-gebu menceritakan kisahnya hingga kau memaksaku untuk tenggelam
didalamnya, “Aku rasa kamu harus membaca buku ini deh, yang.” katamu sambil
menyodorkan sebuah buku yang tak tahu sejak kapan kau menyukai hal semacam itu.
Konspirasi Alam Semesta tertulis
dengan jelas menghiasi covernya.
Entah berapa kali telponku bergetar, menandakan banyaknya notifikasi yang masuk. Namun, aku terlalu menikmati kisah yang ditorehkan
sang penulis sehingga kabar darimu pun kuhiraukan untuk sejenak. Aku yang
terlalu suka akan buku cerita, tak bisa menolak jika seseorang memberiku hal
semacam ini. Maka tak ayal jika lemari buku yang berdiri kokoh di kamarku
berisi tentang deretan judul cerita yang acapkali membuatku lupa akan dunia,
padahal seharusnya buku yang penuh dengan rumuslah yang harus berdiri tegak di
lemari itu.
Di suatu halaman aku tertegun. Tertulis kata
Ilya disana. Mengingatkanku akan pesanmu tempo lalu. Ihh, dasar! batinku. Tak ada aba-aba, senyum mengembang menghiasi
wajahku tanpa permisi. Aku baru menyadari bahwa kau tak lebih dari seorang
lelaki yang berusaha untuk menggodaku tempo lalu. Sebelum membaca buku ini pun,
aku terheran-heran karena pesanmu. ‘Ilya’. Hanya itu yang kau kirimkan
kepadaku. Aku bertanya. Sejurus kemudian pesanmu masuk, ‘I love you, always :)'. Senyumku mengembang kembali saat
mengingatnya, dan kali ini memperlihatkan gigiku yang dihiasi oleh kawat
berwarna.
Sesederhana itu kau bisa membuatku bahagia. Aku
tak tahu apakah aku yang terlalu gampang untuk digoda, atau kau yang terlalu ahli
dalam hal semacam itu. Aku tak tahu. Pun tak lagi kupikirkan tentang itu, aku
hanya ingin menikmati prosesnya. Aku suka untuk kau buat bahagia. Aku suka saat
hatiku menghangat dan aku sangat suka saat jantungku berdebar walau kutahu
kata-kata itu hanya kau contek dari sebuah buku yang sangat kau sukai
belakangan ini.
Kemudian pikiranku langsung melayang mengingat
kebersamaan kita kala itu, sebelum akhirnya kau dan aku terpisah antar pulau.
Aku dan kau berada di dalam sebuah gerbong kereta api. Berbagi kisah, canda
dan tawa bersama. Tak jarang juga perutmu menjadi sasaran empuk cubitan mautku
hingga aku harus melihatmu menahan aduh akibat ulahku. Hahaha, aku bahagia.
Aku mengerti bahwa sebuah hubungan tak harus
diperlihatkan kepada dunia. Aku tahu bahwa kau menyayangiku tanpa harus kau
menggodaku dengan kata ‘ilya’ yang kau contek dari buku itu. Aku tahu bahwa kau
akan menjagaku tanpa harus kau ingatkan aku makan karena terkadang aku tak
sadar akan penyakitku. Aku tahu bahwa kau merindukanku... di kota kelahiranku.
Kini kita sudah terpisah jauh. Aku tak khawatir
untuk meninggalkanmu di kota itu. Aku percaya padamu. Tunggulah aku di kota itu
membawa sekantong rindu untuk bisa berada di dekapanmu. Ah, aku benci dengan
suasana melankolis seperti ini. Ingin sekali aku berhenti berkisah tentang
dirimu, karena aku benci saat aku tenggelam oleh dirimu. Terlebih, aku benci
untuk merindukanmu.
Untuk kamu, aku mencintaimu.
No comments:
Post a Comment