Thursday, 13 June 2024

Langit

Pernah berada di satu fase yang bikin aku merasa serba bingung, padahal (dulu) aku selalu merasa percaya diri sama apapun yang aku pilih. Dibilang naif? Sudah biasa. Dibilang terlalu baik? Sering.

Aku sampai nggak percaya kalau ada hal-hal yang seperti itu. Karena, ya, aku merasa itu memang kewajiban sebagai manusia. Berbuat baik; kalau ada yang minta tolong sebisa mungkin ditolong, memberi tanpa diminta, gamau pelit selagi ada dan bisa, nggak mau menganggap orang lain itu jahat walaupun ‘orang itu’ punya sesuatu hal yang nggak enak ke orang terdekatku. Karena, ya, memang begitu caraku memandang orang lain; ‘Semua orang pada dasarnya baik, tapi lingkunganlah yang membuatnya jahat.’

Tapi setelah badai itu datang dan aku terombang-ambing dengan perasaanku sendiri, aku merasa kalau perasaanku itu ternyata penting dan aku sadar bahwa selama ini aku sering mengabaikan perasaanku dulu. Hal-hal itu jadi mulai menggoyangku karena aku nggak bisa berdiri dengan kuat lagi. Awalnya masih bisa berdiri kuat, menjadi goyang, dan terombang-ambing; yang awalnya susah buat nangis jadi nangis setiap hari. Bingung, capek, kewalahan sama perasaan diri sendiri.

Tapi, makin lama semakin tersadar kalau sehancur apapun aku, hal yang bikin aku terombang-ambing itu bakal selalu ada. Ombak bakal selalu datang, karang bakal selalu setia di depan kapal.

Kalau aku lagi sedih, aku selalu lihat langit. Walaupun langit biru sering mendung, langit bakal berganti biru lagi, pohon akan rindang lagi walaupun angin sering bikin daunnya gugur karena daun yang jatuh bakal berganti sama daun yang baru dan akan tumbuh lebih kuat lagi.

Ternyata, sesederhana itu menyadari kalau hidupku itu terlalu indah untuk aku pasrahkan sama hal yang bikin aku terombang-ambing, karena ada banyak hal baik yang bisa aku nikmati, aku syukuri, dan aku terima.

Jangan capek-capek lihat langit, yaaa, Sindy!

❤️
Dari aku, kepada aku.
Medan, 2024.

No comments:

Post a Comment