Skip to main content

Perjalanan Anak Manusia




Tiap manusia tumbuh, tapi hanya sedikit yang berkembang. Tiap manusia bertambah usia, tapi hanya sedikit yang bertambah dewasa. Benar bukan?
Terkadang kita lupa bahwa tiap manusia punya prosesnya masing-masing. Tak bisa disamakan, tak bisa pula dibanding-bandingkan. Tiap manusia punya hak untuk dirinya masing-masing yang tak bisa pula untuk dipaksakan.

Namun, bagaimana dengan harapan?
Ya, tiap manusia pasti punya harapannya kepada seseorang. Dari orangtua kepada anaknya, dari sang kekasih kepada pasangannya, dari seseorang kepada orang yang bahkan belum pernah ia jumpai sebelumnya.

Lantas dengan harapan mereka, kau akan jatuh dan terpuruk oleh pikiranmu sendiri? Oleh tanggapan orang lain?
“Aku harus ini, aku harus itu.” atau, “Kamu harus ini, kamu harus itu.”
Kau lupa bahwa dirimu adalah kau. Kau lupa kaulah yang memegang semua kendali atas dirimu. Ya, emang benar, harapan. Kita semua terbebani oleh harapan itu. Padahal bagi kita, apa yang sudah kita jalani selama ini adalah versi terbaik untuk kita. Kita punya kendali atas itu.

Sebenarnya tak ada yang salah. Hanya saja kita hanya perlu menikmati prosesnya.
Ibarat sebuah pohon, tidak ada bunga yang mekar secara bersamaan, selalu berbeda. Begitu juga dengan manusia. Terkadang kita hanya lupa untuk mengingatnya.

Jadi, teruslah berjuang selagi bisa. Wujudkan harapan mereka. Perjalananmu mungkin terasa berat, mungkin kamu merasa sendiri. Tapi percayalah, masih ada orang yang mendukung prosesmu. Kau hanya perlu bersabar dan menikmati segala prosesnya.


Untuk siapapun itu, semangat berjuang ya, kalian!



Comments

Popular posts from this blog

Kesalahan yang Tak Ingin Aku Ulang

      Kalau mencintaimu adalah sebuah kesalahan, seharusnya kita tak perlu bertemu sejak awal. Kalau menyayangimu adalah sebuah keikhlasan, rasanya aku tak perlu membuang waktu untuk menimbun harapan lebih dalam.                Aku tak pernah menyangka kita akan menjadi asing walau pada akhirnya semua pertemuan selalu saja mempunyai akhir. Aku terlalu tinggi meletakkan ekspektasiku terhadapmu sehingga aku selalu terlena atas sikapmu. Terkadang aku masih memikirkannya, ‘Kenapa harus aku?’, padahal rasanya tak pernah aku mencintaimu dengan ragu. Rasanya tak pernah pula aku menyambutmu dengan senyum yang palsu. Tapi, kenapa? Kenapa harus aku?       Segala sesuatu pasti punya ciri khasnya, seperti 'Bogor' yang selalu lekat dengan kata 'hujan' dan menurutku, 'Kau' akan selalu lekat dengan 'keluguan'. Lucu sekali rasanya kalau aku harus mengingat keluguanmu. Keluguan palsu yang sukses kau buat untuk membodohi...

[Cerbung] Semua Serba Salah

Malam ini tak seperti biasanya, Rina malas untuk belajar ataupun sekedar mengulang materi yang telah diajarkan di kampusnya. Hal ini membuat Rina untuk beralih mengerjakan sesuatu yang lain, sesuatu yang sangat disukainya selain melihat drama korea. Saat itu Rina sedang asyik dengan game puzzle di handphone nya, tak lama hpnya berbunyi menandakan ada telepon masuk. Dari Raka. Seperti biasa, setiap malam mereka bertelepon. Berbagi kisah tentang apa yang sudah mereka jalani, tentang atasan yang ribet, tentang teman-teman Rina yang bawel, tentang pekerjaan Raka, tentang kuliah Rina, bahkan tentang keluarga mereka. *** “Halo sayang... Lagi apa nih? Ngegame lagi ya?” Raka tahu betul apa yang disuka oleh wanitanya, bermain game salah satunya. “Iya dong, biar gue ga bosen nungguin lo. Lo gitu sih, ribet. Mandi lebih lama dari gue, milih baju lebih ribet dari gue, makan harus ada sambel. Woi cabe mahal woi!” “Hahaha, bisa diganti pake merica kok sayang.” “Pedes meric...

Sebuah Rasa dalam Secangkir Cokelat Panas

          Aku tak tahu persisnya sejak kapan rasa ini mulai muncul. Manis dan pahit layaknya secangkir cokelat panas yang kau berikan saat pertama kali kita bertemu; rasa manis yang selalu saja berhasil membuatku tersenyum, pun rasa pahit yang terkadang berhasil membuatku melamun.            H ari itu, sambil menyesap secangkir cokelat panas yang kau berikan kepadaku, kita saling memandang dan tersenyum. Aku ingat betul, kau hadir di saat langit diselimuti oleh awan yang membuatku berpikir bahwa kau akan sama teduhnya dengan langit waktu itu. Hal-hal kecil yang kau berikan, selalu saja berhasil membuatku semakin yakin atas sikapmu. Namun nyatanya aku salah, hal-hal kecil itu adalah caramu untuk mengkhianatiku.           Aku merasa bodoh. Rasanya ingin marah, tapi aku tak mampu. Aku tak mampu untuk bertemu denganmu lagi. Aku takut. Takut akan kebohonganmu lagi.          ...