Saturday, 15 June 2024

Ranting Pohon

Aku menaiki sepeda motor bersama seorang lelaki dengan jaket hijaunya, sedangkan aku di belakangnya dengan jaket jeans kesayangan yang kalau dikira-kira sudah berumur 4 tahun lamanya. ‘Tumben-tumbennya langit secerah ini’, batinku.

Pagi ini langit memang cerah sekali—berwarna biru muda dengan beberapa awan yang tampak seperti gulali yang disobek di pasar malam. Gedung-gedung yang menjulang tinggi pun diterpa oleh cerahnya mentari pagi. Ada beberapa lampu jalan yang belum padam di sisi kanan dan kiri jalan yang aku lewati bersama lelaki berjaket hijau ini.

Sungguh indah.

Pagiku indah sekali.

Tapi, ada satu hal yang kulihat berbeda. Saat kuperhatikan langit, ada satu pohon yang tampak kosong di antara pohon lainnya. Tak ada sedikitpun daun hijau yang bertenggen di ranting-rantingnya padahal pohon-pohon lain tampak cantik dengan daun yang menghiasinya. Kabel-kabel yang berantakan alurnya pun tampak melintasi ranting-ranting yang kosong itu.

Sambil melintasinya, masih kuperhatikan pohon itu. Kalau kupikir lagi, sebenarnya jika aku tak hanya fokus melihat pohon itu, pohon itu tampak cantik jika bersanding dengan langit. Warnanya tampak kontras dengan biru langit. Rantingnya tampak menghiasi langit biru yang aku kagumi tadi.

Sama seperti layaknya manusia, jika hanya melihat hal buruk saja rasanya masih selalu kurang, bukan? Tapi jika melihat hal baik juga di dalamnya hal buruk itu pun akan tertutupi dengan hal baik yang kita lihat :)

Friday, 14 June 2024

Tuhan, Pantaskah Aku untuk Hidup?

Akulah si manusia yang hatinya terbolak-balik.

Rasanya baru tadi aku merasa senang, lantas kenapa sekarang sudah merasa sedih? Berulang kali aku bertanya kepada Tuhan, “Tuhan, pantaskah aku untuk hidup?” atau “Tuhan, pantaskah aku bahagia?”.

Sungguh pertanyaan bodoh yang membuat Tuhan murka yang padahal aku sudah tahu sendiri jawabannya tanpa Tuhan pun ikut menjawab. Tapi, sungguh, sebenarnya aku pun masih bingung kenapa bisa begitu.

Tuhan Maha Baik

Tuhan Maha Baik!


Jadi, ada beberapa masalah di tempat kerjaku yang mengharuskanku untuk memikirkannya. Namun, seperti tulisanku sebelumnya—aku berusaha untuk terus berprasangka baik kepada Tuhan, aku belajar dari situ.


Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku menyembah. Kewajiban dua rakaat aku lakukan, tak lupa dua rakaat sebelumnya, pun setelahnya aku berdoa untuk diberikan kelancaran dan kemudahan di setiap langkahku pada hari ini.


Seluruh kekhawatiran, aku coba runtuhkan. Segala kegelisahan, aku coba hiraukan. Segala keresahan, aku coba tundukkan. Aku berusaha semaksimal mungkin untuk percaya kepada Tuhanku. Aku percaya pertolongan Tuhanku.


Ternyata benar, prasangka baikku tak ada satupun yang meleset. Doa-doa yang kugaungkan ke langit ternyata sudah didengar dan dikabulkan. Mulai dari hal yang remeh-temeh sekalipun ternyata Tuhan perhatikan. Allahuakbar.


Kau mau tahu urusan apa saja yang diurus oleh Tuhanku?


Mulai dari saat aku berangkat menuju tempat kerja, di perempatan lampu apil, selalu saja aku mendapat lampu hijau. Bahkan kalaupun lampu merah, hanya satu per sekian detik saja aku merasakannya. Ajaib, bukan?


Terus, makin herannya adalah ketika dokter yang bertugas akan mengoperasi, beliau tak terlalu menghiraukan aku dan teman sekelompokku padahal kalau dihitung-hitung, seharusnya kami lah yang masuk ke ruangan operasi. Tadi kami bingung bukan kepalang, pasalnya aku dan teman-temanku tidak sedang membawa baju untuk persiapan operasi. Ya Tuhan, Tuhanku baik sekali.


Apalagi ketika aku dan teman-temanku harus mengajukan satu dua buah judul paper yang harus kami kumpulkan ke admin tempat kami bekerja. Deg-degan, keringat dingin, khawatir, semua bercampur aduk. Tapi, balik lagi, tak apa selama aku punya Tuhanku. Tuhan yang Maha Baik. Pada saat mengajukan pun, beliau sangat ramah menerimanya. Alhamdulillah. Kaget bukan main.


Setelah pulang dari tempat kerja pun Tuhan memperhatikanku, padahal 'hal itu' tak ada di list permohonan doaku hari ini. Ya ampun, Tuhanku Baik sekali! Saat pulang, aku menggunakan aplikasi ojol (ojek online), padahal aku punya tentengan yang sangat besar. Tapi, Tuhan Maha Baik. Dia memperhatikanku, karena itu dia memberikanku ojol dengan motor yang bagus, yang tak harus membuatku untuk menenteng tentengan besarku :)


Maha Baik.

Tuhanku Maha Baik.

MasyaaAllah. Alhamdulillah.

Thursday, 13 June 2024

Langit

Pernah berada di satu fase yang bikin aku merasa serba bingung, padahal (dulu) aku selalu merasa percaya diri sama apapun yang aku pilih. Dibilang naif? Sudah biasa. Dibilang terlalu baik? Sering.

Aku sampai nggak percaya kalau ada hal-hal yang seperti itu. Karena, ya, aku merasa itu memang kewajiban sebagai manusia. Berbuat baik; kalau ada yang minta tolong sebisa mungkin ditolong, memberi tanpa diminta, gamau pelit selagi ada dan bisa, nggak mau menganggap orang lain itu jahat walaupun ‘orang itu’ punya sesuatu hal yang nggak enak ke orang terdekatku. Karena, ya, memang begitu caraku memandang orang lain; ‘Semua orang pada dasarnya baik, tapi lingkunganlah yang membuatnya jahat.’

Tapi setelah badai itu datang dan aku terombang-ambing dengan perasaanku sendiri, aku merasa kalau perasaanku itu ternyata penting dan aku sadar bahwa selama ini aku sering mengabaikan perasaanku dulu. Hal-hal itu jadi mulai menggoyangku karena aku nggak bisa berdiri dengan kuat lagi. Awalnya masih bisa berdiri kuat, menjadi goyang, dan terombang-ambing; yang awalnya susah buat nangis jadi nangis setiap hari. Bingung, capek, kewalahan sama perasaan diri sendiri.

Tapi, makin lama semakin tersadar kalau sehancur apapun aku, hal yang bikin aku terombang-ambing itu bakal selalu ada. Ombak bakal selalu datang, karang bakal selalu setia di depan kapal.

Kalau aku lagi sedih, aku selalu lihat langit. Walaupun langit biru sering mendung, langit bakal berganti biru lagi, pohon akan rindang lagi walaupun angin sering bikin daunnya gugur karena daun yang jatuh bakal berganti sama daun yang baru dan akan tumbuh lebih kuat lagi.

Ternyata, sesederhana itu menyadari kalau hidupku itu terlalu indah untuk aku pasrahkan sama hal yang bikin aku terombang-ambing, karena ada banyak hal baik yang bisa aku nikmati, aku syukuri, dan aku terima.

Jangan capek-capek lihat langit, yaaa, Sindy!

❤️
Dari aku, kepada aku.
Medan, 2024.

Tuesday, 11 June 2024

Rumah Puzzle

Ternyata memang benar ya kalau Tuhan sangat mudah membalikkan hati manusia. Betapa banyak prasangka buruk yang kita yakini, padahal di balik prasangka itu semua Tuhan sudah menyiapkan sesuatu hal yang sangat kita butuhkan. Atau, kalau pun gak kita butuhkan, ya paling gak yang kita inginkan. Dia kasih banyak kejutan di balik banyak hal yang terjadi di hidup kita. What belongs to you, will come to you. 

Hari ini, si manusia kurang bersyukur ini, datang ke tempat yang awalnya bukan menjadi tempatnya. Namun nyatanya tempat ini akan menjadi tempat di balik hari-hari yang akan dijalaninya. Bagaimana tidak, paling enggaknya per dua minggu sekali manusia ini akan datang kesini. “Untuk kontrol.” katanya. Aku pun tak tahu apa penyakit yang sebenarnya dideritanya. Kalau pun tahu, tak akan kubiarkan kalian mengetahuinya. “Hanya rahasia kita saja, ya.” ucapnya.

Tak seperti biasa, sepulang dia kerja, manusia ini akan menuju tempat yang tak biasa itu. Kita sebut saja ‘rumah puzzle’. Saat kukatakan tempatnya adalah rumah puzzle, dia bertanya kepadaku, “Kenapa kau beri nama rumah puzzle? Aku tak sedang menyusun puzzle disana. Malah tak ada satupun puzzle yang ada disitu.” Dia heran bukan main. Lantas kujelaskan bahwa rumah puzzle itu berarti banyak teka-teki yang ada di dalamnya karena ada seseorang yang akan memecahkan teka-teki yang dibawa oleh seseorang yang lain dan bahkan orang-orang setelahnya. “Oh, benar juga.” Jawabnya seraya ikut memantapkan jawabanku.

Akhirnya, sampailah dia di rumah puzzle itu. Di tempat dia duduk, di sampingnya ada seorang wanita paruh baya yang memainkan tongkatnya ke lantai sambil mendendangkan satu dua buah nada selayaknya seorang musisi handal. Tak ada pemikiran apapun. Manusia ini hanya melihatnya sekilas kemudian dia mengeluarkan tabletnya untuk membunuh waktu sambil dia menunggu untuk memecahkan teka-tekinya.

Benar juga. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam. Namanya pun dipanggil untuk memecahkan teka-tekinya. ‘Ah, waktuku sudah tiba.’ ucapnya dalam hati. Setelah membereskan barang-barangnya, dia pun bergegas masuk.

Dia duduk berhadapan dengan si pemecah teka-teki dan manusia ini pun banyak memberikan teka-teki yang ada di kepala dan yang dirasakannya.

Setelah 45 menit berlalu, manusia ini keluar. Dia belum merasa puas dengan jawaban si pemecah teka-teki. “Ternyata teka-teki kali ini terasa lumayan sulit.” katanya. Karena teka-teki yang lumayan sulit itu, dia disuruh untuk menunggu jawabannya. Namun pada saat dia menunggu, dia bertemu dengan seseorang pembawa teka-teki lain yang ingin masuk. “Ah! Sepertinya aku kenal siapa dia. Tapi, siapa ya? Aku seperti pernah melihatnya. Aku seperti sangat mengenalnya. Tapi, siapa ya?” Banyak pertanyaan yang berkutat di kepalanya. Sambil menunggu jawaban teka-teki dari si pemecah teka-teki, ternyata dia sudah mengingatnya. “Oh, aku tahu siapa!” Langsung dia kegirangan dan seolah-olah merasa tak ada perasaan tak puas dari teka-teki yang dibawanya. Ternyata seseorang itu adalah salah satu orang favoritnya. Tak disangka kalau dia akan bertemu di rumah puzzle itu.

Begitulah. What belongs to you, will come to you. Semua hal yang terjadi di hidup ini sudah digariskan oleh Tuhan. Apapun itu. Tapi tergantung bagaimana kita menyikapi apa yang diberikan-Nya.

Hari ini manusia ini tak menyangka akan bertemu dengan salah satu orang favoritnya. Mungkin, besok hari dia akan punya kisah menyenangkan lainnya yang sebenarnya dia tidak akan tahu apa yang akan terjadi.

Hari ini aku belajar tentang berprasangka baik kepada Tuhan. Terima kasih, Tuhan. Ternyata manusia ini masih kurang banyak bersyukur.

What belongs to you, will come to you.


Friday, 7 June 2024

Hujan dan Kehangatan

Hari ini, dengan memakai balutan kemeja berwarna biru dongker, aku duduk di antara orang-orang yang sakit jiwa. Ya, sakit jiwa. Sama sepertiku. Mereka duduk sambil memainkan layar kecilnya yang aku tak tahu sejak kapan mereka memainkannya. Akupun begitu. Sambil menunggu, aku menyicil satu dua buah paragraf untuk tugas di laptopku.


Suara hujan bergemuruh melawan genting dan atap tempat kami berteduh. Malam ini hujan turun sejadi-jadinya seolah membawa pengharapan dan doa untuk kami gapai satu per satu ke langit itu.


Angka demi angka dipajang di dinding, menandakan sudah berjalannya antrian di klinik ini.


Aku disini bersama perempuan itu lagi. Perempuan yang beberapa hari silam mengetuk pintu kayuku. Beliau menemaniku bersama jemarinya yang lihai mengganti topik di layar hp ke atas dan ke bawah. Tak sama sepertiku, dia memakai sweater cokelat muda dengan jilbab bercorak bunga-bunga menutupi mahkotanya. Si Cantik.


Hari ini aku senang.

Aku senang karena hujan turun.

Hari ini aku senang.

Karena hujan akan membawa doaku jauh ke atas langit.

Hari ini aku senang.

Karena menghabiskan waktu bersama perempuan itu.


Hanya sepatah dua patah kata yang kami bicarakan, tapi itu semua sudah membuatku hangat.

Hujan di luar sana tak akan aku hiraukan dingin yang dibawanya.

Karena aku punya perempuan ini untuk menghangatkan.

Sunday, 2 June 2024

Di Balik Pintu Kayu

Ketukan demi ketukan yang aku dapati membuat perasaanku campur aduk. Harapan demi harapan yang aku pikirkan, hanya berujung sia-sia.

Di balik pintu kayu kamarku, aku menunggu kalimat penenang itu. Kalimat penenang yang bisa membuatku bangkit lagi menjadi aku, bukan menjadi ‘Aku, si Kumat’ itu.

Dua kali pintu itu diketuk oleh orang yang berbeda, yang aku hafal betul suaranya. Orang yang aku harapkan.

Orang pertama adalah lelaki berumur pertengahan abad dengan beberapa kutil di leher dan badannya. Tepatnya kemarin, saat lelaki itu mengetuk, ada perasaan senang yang menyelimutiku, namun saat aku tahu alasannya perasaan itupun langsung sirna. “Adek mau ngambil baju-bajunya”. ‘Oh, ternyata karena ini’, pikirku.

Sudahlah. Terlalu banyak berharap.

Orang kedua adalah perempuan cantik bersuara nyaring yang begitu familiar. Perempuan ini punya banyak tahi lalat di wajahnya. ‘Tahi lalat banyak ini keturunan dari Nenek’, tuturnya dahulu pada saat kami berbincang. Saat perempuan ini mengetuk, perasaan senang itu kembali lagi. Lebih gembira dari sebelumnya. Namun, yang lebih itupun hanya sesaat setelah aku mendengar suara perempuan paruh baya setelahnya. Aku menerka alasan perempuan itu mengetuk pintu kayu dan aku tertawa. ‘Hahaha. Mau numpang kamar mandi ternyata’. Tertawaku lebih keras setelahnya yang kemudian disusul air mata.

Sebenarnya, kalau dipikir-pikir, lucu juga ya. Gadis perempuan berumur 26 tahun ini masih mengharapkan kalimat penenang dari orang lain, yang padahal (mungkin) seharusnya tak perlu lagi untuk itu.

Buat apa berharap sama kalimat orang lain, bukan?

Seperti tulisan sebelumnya, ya begitulah si manusia pencari perhatian ini. Maaf jika harus seperti ini, karena aku juga tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana. Rasanya ingin selalu menarik diri, memeluk diri lebih dalam dan menyelaminya.

Pun aku sadar, tak semua orang tahu dan paham. Pun aku sadar, tak semua orang bisa memahami. ‘Menuntut tapi tak bisa berusaha menjadi pribadi yang baik’, katanya. ‘Aku bisa, tapi aku butuh pertolongan’, kataku.