Skip to main content

Posts

Showing posts from 2024

Ranting Pohon

Aku menaiki sepeda motor bersama seorang lelaki dengan jaket hijaunya, sedangkan aku di belakangnya dengan jaket jeans kesayangan yang kalau dikira-kira sudah berumur 4 tahun lamanya. ‘Tumben-tumbennya langit secerah ini’, batinku. Pagi ini langit memang cerah sekali—berwarna biru muda dengan beberapa awan yang tampak seperti gulali yang disobek di pasar malam. Gedung-gedung yang menjulang tinggi pun diterpa oleh cerahnya mentari pagi. Ada beberapa lampu jalan yang belum padam di sisi kanan dan kiri jalan yang aku lewati bersama lelaki berjaket hijau ini. Sungguh indah. Pagiku indah sekali. Tapi, ada satu hal yang kulihat berbeda. Saat kuperhatikan langit, ada satu pohon yang tampak kosong di antara pohon lainnya. Tak ada sedikitpun daun hijau yang bertenggen di ranting-rantingnya padahal pohon-pohon lain tampak cantik dengan daun yang menghiasinya. Kabel-kabel yang berantakan alurnya pun tampak melintasi ranting-ranting yang kosong itu. Sambil melintasinya, masih kuperhatikan pohon it...

Tuhan, Pantaskah Aku untuk Hidup?

Akulah si manusia yang hatinya terbolak-balik. Rasanya baru tadi aku merasa senang, lantas kenapa sekarang sudah merasa sedih? Berulang kali aku bertanya kepada Tuhan, “Tuhan, pantaskah aku untuk hidup?” atau “Tuhan, pantaskah aku bahagia?”. Sungguh pertanyaan bodoh yang membuat Tuhan murka yang padahal aku sudah tahu sendiri jawabannya tanpa Tuhan pun ikut menjawab. Tapi, sungguh, sebenarnya aku pun masih bingung kenapa bisa begitu.

Tuhan Maha Baik

Tuhan Maha Baik! Jadi, ada beberapa masalah di tempat kerjaku yang mengharuskanku untuk memikirkannya. Namun, seperti tulisanku sebelumnya—aku berusaha untuk terus berprasangka baik kepada Tuhan, aku belajar dari situ. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku menyembah. Kewajiban dua rakaat aku lakukan, tak lupa dua rakaat sebelumnya, pun setelahnya aku berdoa untuk diberikan kelancaran dan kemudahan di setiap langkahku pada hari ini. Seluruh kekhawatiran, aku coba runtuhkan. Segala kegelisahan, aku coba hiraukan. Segala keresahan, aku coba tundukkan. Aku berusaha semaksimal mungkin untuk percaya kepada Tuhanku. Aku percaya pertolongan Tuhanku. Ternyata benar, prasangka baikku tak ada satupun yang meleset. Doa-doa yang kugaungkan ke langit ternyata sudah didengar dan dikabulkan. Mulai dari hal yang remeh-temeh sekalipun ternyata Tuhan perhatikan. Allahuakbar . Kau mau tahu urusan apa saja yang diurus oleh Tuhanku? Mulai dari saat aku berangkat menuju tempat kerja, di perempatan lampu apil, se...

Langit

Pernah berada di satu fase yang bikin aku merasa serba bingung, padahal (dulu) aku selalu merasa percaya diri sama apapun yang aku pilih. Dibilang naif? Sudah biasa. Dibilang terlalu baik? Sering. Aku sampai nggak percaya kalau ada hal-hal yang seperti itu. Karena, ya, aku merasa itu memang kewajiban sebagai manusia. Berbuat baik; kalau ada yang minta tolong sebisa mungkin ditolong, memberi tanpa diminta, gamau pelit selagi ada dan bisa, nggak mau menganggap orang lain itu jahat walaupun ‘orang itu’ punya sesuatu hal yang nggak enak ke orang terdekatku. Karena, ya, memang begitu caraku memandang orang lain; ‘Semua orang pada dasarnya baik, tapi lingkunganlah yang membuatnya jahat.’ Tapi setelah badai itu datang dan aku terombang-ambing dengan perasaanku sendiri, aku merasa kalau perasaanku itu ternyata penting dan aku sadar bahwa selama ini aku sering mengabaikan perasaanku dulu. Hal-hal itu jadi mulai menggoyangku karena aku nggak bisa berdiri dengan kuat lagi. Awalnya masih bisa berd...

Rumah Puzzle

Ternyata memang benar ya kalau Tuhan sangat mudah membalikkan hati manusia. Betapa banyak prasangka buruk yang kita yakini, padahal di balik prasangka itu semua Tuhan sudah menyiapkan sesuatu hal yang sangat kita butuhkan. Atau, kalau pun gak kita butuhkan, ya paling gak yang kita inginkan. Dia kasih banyak kejutan di balik banyak hal yang terjadi di hidup kita. What belongs to you, will come to you.   Hari ini, si manusia kurang bersyukur ini, datang ke tempat yang awalnya bukan menjadi tempatnya. Namun nyatanya tempat ini akan menjadi tempat di balik hari-hari yang akan dijalaninya. Bagaimana tidak, paling enggaknya per dua minggu sekali manusia ini akan datang kesini. “Untuk kontrol.” katanya. Aku pun tak tahu apa penyakit yang sebenarnya dideritanya. Kalau pun tahu, tak akan kubiarkan kalian mengetahuinya. “Hanya rahasia kita saja, ya.” ucapnya. Tak seperti biasa, sepulang dia kerja, manusia ini akan menuju tempat yang tak biasa itu. Kita sebut saja ‘rumah puzzle ’. Saat kukata...

Hujan dan Kehangatan

Hari ini, dengan memakai balutan kemeja berwarna biru dongker, aku duduk di antara orang-orang yang sakit jiwa. Ya, sakit jiwa. Sama sepertiku. Mereka duduk sambil memainkan layar kecilnya yang aku tak tahu sejak kapan mereka memainkannya. Akupun begitu. Sambil menunggu, aku menyicil satu dua buah paragraf untuk tugas di laptopku. Suara hujan bergemuruh melawan genting dan atap tempat kami berteduh. Malam ini hujan turun sejadi-jadinya seolah membawa pengharapan dan doa untuk kami gapai satu per satu ke langit itu. Angka demi angka dipajang di dinding, menandakan sudah berjalannya antrian di klinik ini. Aku disini bersama perempuan itu lagi. Perempuan yang beberapa hari silam mengetuk pintu kayuku. Beliau menemaniku bersama jemarinya yang lihai mengganti topik di layar hp ke atas dan ke bawah. Tak sama sepertiku, dia memakai sweater cokelat muda dengan jilbab bercorak bunga-bunga menutupi mahkotanya. Si Cantik. Hari ini aku senang. Aku senang karena hujan turun. Hari ini aku senang. K...

Di Balik Pintu Kayu

Ketukan demi ketukan yang aku dapati membuat perasaanku campur aduk. Harapan demi harapan yang aku pikirkan, hanya berujung sia-sia. Di balik pintu kayu kamarku, aku menunggu kalimat penenang itu. Kalimat penenang yang bisa membuatku bangkit lagi menjadi aku, bukan menjadi ‘Aku, si Kumat’ itu. Dua kali pintu itu diketuk oleh orang yang berbeda, yang aku hafal betul suaranya. Orang yang aku harapkan. Orang pertama adalah lelaki berumur pertengahan abad dengan beberapa kutil di leher dan badannya. Tepatnya kemarin, saat lelaki itu mengetuk, ada perasaan senang yang menyelimutiku, namun saat aku tahu alasannya perasaan itupun langsung sirna. “ Adek mau ngambil baju-bajunya”. ‘ Oh, ternyata karena ini’, pikirku. Sudahlah. Terlalu banyak berharap. Orang kedua adalah perempuan cantik bersuara nyaring yang begitu familiar. Perempuan ini punya banyak tahi lalat di wajahnya. ‘ Tahi lalat banyak ini keturunan dari Nenek ’, tuturnya dahulu pada saat kami berbincang. Saat perempuan ini mengetuk, p...

Hari Esok

Banyak sekali kalimat yang berkecamuk di kepalaku. Pemikiran ‘kapan mati’ yang kalau saja aku turuti, membuatku tidak akan bertemu hari esok. Hari esok yang sebetulnya belum tentu baik untuk kulewati. Hari esok yang sebetulnya belum tentu bahagia—seperti hari ini. Aku bertanya-tanya kepada diriku sendiri, ‘Kenapa aku harus mengalami ini?’, ‘Kenapa aku tidak seperti manusia normal yang lain?’, atau ‘Kenapa aku tidak seperti si anak kebanggaan itu?’. Semua ‘kenapa’ itu seolah-olah menusukku. Mengintaiku hingga aku terpuruk dan aku tidak bisa melawannya. Entah kenapa. Merasa sendiri. Merasa membebani. Merasa gila. Gila. Semua perasaan yang muncul yang membuatku semakin lama semakin jatuh ke lubang hitam yang tak semua orang paham dan merasakannya. Gila. Si Gila. Hahaha.