Saturday 10 March 2018

Kisah Dibalik Langit Merah


Bisakah kau hidup tanpa teduhnya wanita, yang di setiap sujudnya terbisik namamu.
Dia cerminan sisi terbaikmu, lindungi hatinya.
Sekalipun di dalam amarah.

***

Tak terasa sudah dua jam lebih aku duduk berdua dengan  wanita ini. Seorang wanita kuat yang ku kenal sebelumnya. Tak tahu kapan terakhir kali ia menyesap kopinya, hingga kembali ia berkutat dengan buku dan penanya. Kulihat ada nama lelaki itu disana. Ia menuliskannya.

Ingin rasanya aku bertanya dan memastikan keadaannya baik-baik saja. Tetapi bukankah itu sebuah tindakan bodoh yang akan membuat keruh suasana? Bukankah aku sudah tahu jawabannya bahwa ia tidak baik-baik saja? Dasar lelaki bodoh.

"Ra..." aku memanggilnya.

Ia melihatku. Sejurus kemudian ia melihat ke arah jendela, mencoba untuk mengabaikan keberadaanku.

Langit semakin memerah di luar sana. Begitulah yang kurasakan ketika ia melihat keluar jendela. Tetapi sang langit tak kunjung menunjukkan pengaruh besar kepadanya. Pun bagiku suasana di kafe ini tetap saja terasa dingin walaupun dipenuhi oleh manusia lainnya.

Wahai langit, bukankah seharusnya kau bisa membuat wanita ini menghangat karena warnamu? Ayolah, tunjukkan kehebatanmu.

Aku memandangnya. Yang dipandang masih melihat ke arah jendela. Masih setia dengan langit berwarna merah. Aku terus memperhatikannya. Aku melihat ketulusan yang ada padanya. Ketulusan yang membawa cinta ada bersamanya.

Tetapi, bukankah wanita tetaplah seorang wanita?

Aku tak habis pikir, lelaki mana yang tega membuatmu menjadi sendu hingga berbicara pun tak mau. Sejauh aku bersamamu, selama dua jam berlalu, belum ada satu kata pun yang keluar dari mulutmu.

'Ayolah, ucapkan sesuatu. Jangan menjadi begitu kelu. Kemana dirimu yang dulu, hai wanita?'

"Ra..." aku memanggilnya, masih belum menyerah. Ia masih melihatku, sama seperti saat kupanggil namanya kali pertama. Tetapi kini tak lagi melihat ke arah jendela. Ia menyesap kopinya dan berkutat kembali dengan kopi dan penanya.

Lagi-lagi kulihat nama lelaki itu tertulis disana, sejurus kemudian ia pun menumpahkan pertahanannya.

Ia menangis.

'Apa lagi yang dilakukan lelaki itu terhadapmu? Bukankah kau sudah berjanji kepadaku akan bahagia bersamanya tempo lalu?'

Aku memegang tangannya, berharap bisa merasakan semua yang dirasakannya. Pertahanannya semakin goyah terlihat dari air matanya yang kian deras. Kupeluk ia. Berharap bisa menguatkannya.

'Sudahlah Ra. Lupakan ia. Simpanlah ketulusan dan kekuatanmu untuk pria yang menganggapmu ada. Lupakan ia yang sering membuatmu kecewa. Ra, kuatlah, aku akan selalu ada walaupun kau tak pernah menganggapku ada.'

***

Jogja, 10 Maret, hampir tengah malam.
Diselesaikan sambil memutar lagu Teduhnya Wanita dari Raissa berulang kali.
Share:

2 comments: